KISAH SUKSES SEBAGAI ENTERPRENUR TI.
F. ANTONIUS ALIJOYO
Direktur keuangan PT BAT Indonesia ini berani melepaskan jabatannya dan memilih karier sebagai konsultan TI. Obsesi, peluang, dan keprihatinannya membawanya sampai kepada keputusan itu.
Obsesi, peluang, dan keprihatinan. Tiga faktor inilah yang mengantar langkah F. Antonius Alijoyo memasuki dunia teknologi informasi. Anton, begitu dia terdengar dipanggil oleh beberapa stafnya di kantornya, seakan tidak khawatir untuk begitu saja meninggalkan jabatannya sebagai direktur keuangan & corporate secretary di perusahaan multinasional bernama PT BAT Indonesia. "Tekad saya sudah bulat untuk masuk ke dunia teknologi informasi. Dunia TI ini masih sangat menjanjikan, terutama untuk dunia
bisnis di Indonesia," ungkapnya tegas.
Kemudian Anton mulai memaparkan analisisnya, yang dimulai dengan kondisi riil yang sedang dihadapi dunia bisnis Indonesia saat ini. Ada ratusan perusahaan di Indonesia. "Karena tuntutan global, mau tidak mau, untuk bisa survive, mereka harus memiliki praktek bisnis yang excellent," ujarnya. Kalau tidak, lanjut dia, hanya ada dua pilihan yaitu mati suri atau menjadi pemain regional atau bahkan pemain kelas dunia.
Di sinilah letak peluang bisnis TI itu, menurut Anton. Ayah muda berputra dua ini sangat meyakini peran TI untuk menjadi pemain kelas dunia. "Pengalaman saya selama di perusahaan multinasional BAT dan Unilever membuktikan hal itu. Memang teknologi bukan jaminan tetapi bisa memberi solusi agar perusahaan kita beroperasi dengan baik dan mewujudkan keinginan kita," katanya memberi keyakinan.
Karena itu, kata dia, perusahaan-perusahaan kita yang kini masih hidup masih lumayan banyak. "Mereka inilah yang membutuhkan mitra-mitra konsultan TI yang bisa membantu mereka mengimplementasikan TI dalam operasional perusahaan mereka dengan baik," ujarnya. Sebenarnya, lanjut dia, inilah dunia TI yang riil yang memiliki bisnis riil. "Bisnis dotcom itu bukan bisnis riil. Yang riil itu adalah pengusaha rotan,
perkebunan, manufaktur yang harus ditopang TI agar operasional bisnis mereka baik. Pasar inilah yang sangat besar di Indonesia sekarang," papar Anton. Berdasarkan alasan itulah maka dia merasa yakin akan mendapat return yang lebih besar ketimbang menjadi karyawan.
Dengan argumennya ini pula Anton sekaligus ingin mengatakan bahwa dia beralih ke dunia TI sama sekali bukan karena terpengaruh oleh success story yahoo.com, amazon.com, toys.com, atau orang-orang muda lain di bisnis TI yang digemakan oleh media massa. "Saya membina karier saya dengan belajar keras, kerja keras dengan peluh dan keringat. Saya tinggal begitu saja karena saya ingin menjadi seorang technopreneur," ujarnya. Technopreneur yang Anton maksudkan adalah orang yang mengerti peran TI
dalam proses bisnis. "Jadi, saya sebagai konsultan tidak sekadar menjual barang. Kalau cuma begitu, apa bedanya dengan salesman peralatan TI?" tandasnya. Anton juga berterus terang bahwa sepuluh cerita sukses orang TI itu sebenarnya hanyalah 1% dari total semua pengusaha yang terjun ke dunia TI. "Artinya, kisah sedih 99% lainnya tidak dipublikasi oleh media," ungkapnya. Orang-orang yahoo, amazon, dan lain-lain itu berhasil karena teknologi yang mereka gunakan berhasil merealisasikan impian mereka. "Mereka tetap memiliki keahlian manajerial bisnis di bidangnya. Jualan mainan, buku, dan macam-macam. Tetapi, kemudian digeneralisir dan ramai-ramai buka bisnis
dotcom tanpa dukungan bisnis riil, akhirnya banyak yang tumbang," ujarnya.
Selain dari sisi bisnis, sebagai orang muda, Anton juga terobsesi menjadikan teknologi sebagai sahabat orang Indonesia. "Paling tidak berupaya bersama semua pihak untuk mendukung perkembangan TI di Indonesia," ujarnya. Ini memang sudah sejak lama tumbuh di hatinya. Tak heran, ketika masih di BAT, Antonlah yang menggagas agar para profesional muda, baik dari perusahaan multinasional maupun nasional serta berbagai asosiasi, memberi perhatian besar terhadap bahaya Y2K. Maka waktu itu lahirlah
Y2K Communication Forum. "Mungkin karena idenya dan penggeraknya saya, maka saya pula yang ditunjuk menjadi chairman-nya," kenang Anton. Lewat forum ini pulalah mereka mengingatkan pemerintah yang waktu itu (1997) belum berbuat apa-apa untuk mengantisipasi Y2K. Padahal infrastruktur seperti PLN dan Telkom sangat rentan akan bahaya Y2K itu.
"Tergelincir" ke TI
Kepedulian Anton terhadap keselamatan Indonesia dari bahaya Y2K rupanya telah membuat dia terpublikasi sebagai orang TI. Tanpa dia sadari, dirinya telah menjadi incaran berbagai pihak yang peduli dengan TI. Ketika dia sedang asyik-asyiknya melakoni pekerjaannya sehari-hari di BAT Indonesia, sebuah proposal menantang disodorkan kepadanya. "Sudah kepalang basah, mengapa tidak mandi sekalian?"
begitu dia mengutip kata-kata pemberi proposal itu. Artinya, sudah kadung mengurusi TI, mengapa tidak sekalian mencari hidup dan membesarkan perusahaan TI saja?
Proposal untuk mendirikan sebuah perusahaan konsultan di bidang TI itu ternyata berasal dari Amir Abadi Jusuf, pendiri Kantor Akuntan Publik (KAP) AAJ Associates. Rupanya tawaran ini pun membuat semangat Anton berkobar sehingga dia memutuskan untuk bergabung dengan AAJ Group.
Memang sudah menjadi tren di dunia dewasa ini bahwa konsultan keuangan seperti KAP juga melengkapi dirinya dengan sebuah konsultan TI. Atas kesepakatan mereka berdirilah PT AAJ Integrasi, yang sahamnya pun sebagian dimiliki oleh Anton. Hanya saja Anton tidak bersedia mengungkapkan soal pembagian saham itu. Di AAJ Integrasi inilah kini Anton duduk sebagai direktur pengelola. "Jadi, saya tergelincir ke dunia TI
sebenarnya tanpa ada rencana sebelumnya. Saya melakoni hidup ini mengalir begitu saja," katanya polos.
Anton juga berterus terang tidak bisa membuat program. "Saya bukan orang teknologi, tetapi saya mengerti bagaimana mendapatkan nilai terbesar dari TI," ujarnya. Ketika masih di perusahaan multinasional yang dia tinggalkan, berbagai pendidikan di bidang TI sudah dia jalani. Misalnya, bagaimana menggandengkan TI environment/infrastructure ke business strategy berupa solusi TI dan bagaimana mengelola risiko TI. "Jadi, yang saya pelajari lebih ke manajemen TI-nya," ujarnya. Meski demikian, keterlibatannya di dunia TI sudah sejak awal, yaitu ketika dia pertama kali bekerja di Digital Equipment Corporation Indonesia setelah menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Ekonomi Unpad pada 1986.
Di mata Anton, ada keprihatinan mendalam melihat kemampuan pemerintah Indonesia mengadopsi TI yang masih terlalu lambat. Kondisi ini sebenarnya bisa jadi salah satu jenis ancaman bagi negara. Ketidakakraban birokrat terhadap TI menyebabkan mereka ketinggalan informasi. Hal ini selanjutnya akan berakibat kepada kecepatan bereaksi terhadap berbagai peristiwa dan kemampuan birokrasi mendahului pemanfaatan kesempatan baik di bisnis maupun keamanan negara. Dan akhirnya terjadilah kolonialisasi baru dari negara maju ke negara berkembang. "Lewat satelit pengindraan jarak jauh, mereka telah tetapkan ke daerah otonomi mana nantinya mereka masuk setelah melihat potensi yang bisa mereka keruk seperti PT Freeport mengeruk isi perut Irian Jaya," ujarnya. Karena kita tidak menguasai informasi di daerah kita sendiri, kata dia, akhirnya kita tidak punya posisi tawar-menawar yang cukup kuat.
Di Asia ini hanya Mahathir Mohammad-lah yang dia lihat sebagai orang yang punya visi ke depan di bidang TI ini. "Ketika dia mencanangkan proyek TI yang bernama Malaysian Multimedia Supercorridor, dia banyak mendapat hujatan dan tertawaan. Tetapi buktinya sekarang mereka bisa menikmati hasilnya," ungkap Anton.
Untuk Indonesia, Anton mengusulkan agar dalam era otonomi nanti setiap daerah mempunyai blueprint soal TI. "Artinya, harus ada strategi yang jelas agar kita tidak tertinggal terlalu jauh. Bila perlu, masingmasing kabupaten membuat kota percontohan TI seperti yang telah dibuat Irlandia di kota Enis," ujarnya. Di kota Enis, menurut Anton, semua terintegrasi antarrumah, fasilitas sosial (fasos), fasilitas umum (fasum), sekolah, hingga ke pribadi-pribadi yang merupakan anggota komunitas itu.
Mulai dari Rumah
Anton rupanya tidak sekadar berbasa-basi untuk mengakrabkan masyarakat Indonesia dengan TI. Kedua anaknya yang masih kecil, Ray Antonio (10) dan Aldi Ardilo (6), pun sudah akrab dengan komputer. Hanya saja Anton masih tetap menjaga agar mereka tidak menjadi maniak. "Saya mengajari mereka hanya untuk hiburan bagaimana menggambar atau beberapa permainan, meskipun di sekolah mereka sudah diajari berhitung. Itu tidak bisa saya intervensi. Yang saya rasakan, obrolan kami soal komputer sudah nyambung," ungkapnya.
Anton merasa perlu membatasi anak-anaknya agar tidak menjadi maniak TI karena, menurut dia, anak-anak itu tetap perlu bersosialisasi. "Saya yakin, walaupun semua hal nanti dapat dilakukan lewat teknologi seperti sekarang, sudah ada e-cafe, e-economy, tetapi pada saat tertentu akan ada kerinduan untuk kembali ke alami. Seperti sekarang, di bidang obat-obatan sudah ada semboyan back to nature," ujarnya.
Selain agar tidak menjadi maniak, rupanya Anton pun sangat menikmati bermain dan bercengkerama dengan anak-anaknya itu. "Terus terang, kegiatan golf saya sudah lama tertinggal karena Sabtu dan Minggu saya benar-benar gunakan untuk istri dan anak," akunya. Anton menyadari, kedekatan kepada anak itu akan sangat menentukan bagi perkembangan karakter mereka. "Sentuhan kita sewaktu bergulat atau bergulingguling bersama mereka sangat mengasyikkan," katanya sambil matanya menatap ke langit-langit seakan dia sedang merasakan hal itu. Istrinya yang dulunya seorang guru SD pun kini sudah memusatkan perhatiannya kepada kedua anaknya itu dan berhenti mengajar. Anton sendiri bahkan rela mengikuti kemauan anaknya untuk berenang bersama di akhir pekan.
Anton melihat suasana bercengkerama dengan anak-anak itu tidak akan berlangsung lama. "Begitu mereka menginjak remaja, katakanlah SMP, mereka sudah punya dunia sendiri dan mencari jati dirinya. Nggak mungkin mau dipeluk-peluk atau diajak bermain gulat lagi," ungkapnya. Begitu menikmatinya Anton bercengkerama dengan anak-anaknya, sehingga sarapan pagi pun selalu diupayakannya di rumah.
Sosialisasi Diri
Satu kebiasaan Anton yang sudah dia lakoni sejak awal adalah membina hubungan seluas-luasnya. Berbagai asosiasi baik lokal maupun asing dimasukinya, seperti Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Indonesia Financial Executive Association (IFEA), Indonesia Netherland Association (INA), dan Forum of Corporate Governance of Indonesia (FCGI).
"Di organisasi-organisasi ini saya mendapat kepuasan batin. Kita saling berbagi pengalaman, pengetahuan, dan pengalaman manajerial kita. Lewat asosiasi ini pula kita memberi masukan bagi pemerintah. Terakhir, kita jadi punya banyak teman," alasannya.
Anton memberi contoh lahirnya FCGI pada Mei 2000 lalu karena keinginan dari berbagai anggota asosiasi untuk membantu pemerintah yang akan menerapkan corporate governance. "Kita menjadi counterpart bagi Komite Corporate Governance yang dibentuk pemerintah," kata Anton.
Untuk menjaga agar ilmu finance-nya tidak hilang maka Anton pun mengajar di berbagai perguruan MBA di Jakarta, termasuk di almamaternya, IPPM. "Selain itu, saya juga mengajar untuk pendidikan berkelanjutan anggota IAI. Saya kira ini lebih sebagai hobi ketimbang untuk cari uang," ujarnya.
Begitulah Anton kini mengarungi kehidupan barunya sebagai orang TI. Dia telah melihat sebuah peluang yang masih sangat besar di depan mata. Meski demikian, kemampuan pasar yang sangat besar itu untuk membeli jasa TI mereka hingga kini belum teruji. Apalagi Anton sendiri mengakui bahwa AJJ Integrasi adalah mitra dan agen tunggal produk Origin Group yang produknya terkenal mahal itu. Namun, di sini jugalah tantangan bagi Anton. Mampukah dia mewujudkan cita-cita dan obsesinya? Waktulah yang akan menjawabnya